-
Email:
Callcenter_djid@komdigi.go.id -
Call us:
159 -
Webmail:
Surel
- Beranda
- Informasi & Publikasi
- Informasi Terkini
Siaran Pers
Tanggapan Terhadap Pemberitaan Yang Menganggap Pemerintah Tidak Transparan Dalam Hubungan Perjanjian Satelit Indonesia dan Malaysia
Siaran Pers No. 81/DJPT.1/KOMINFO/6/2007
Pada tanggal 12 Juni 2007 telah terbit pemberitaan di Detik.com dengan judul "Timbalik Balik Satelit RI-Malaysia Dinilai Tidak Transparan". Berita tersebut dikutip dari salah satu pernyataan Tonda Priyanto selaku Ketua Umum Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia (ASSI). Lebih lanjut antara lain diberitakan, bahwa semuanya masih hitam-putih dan tidak transparan, harusnya semua pemberian izin itu dibeberkan, minimal di situs pemerintah. Disebutkan pula, bahwa hak labuh untuk satelit yang beroperasional di suatu negara harus dilihat dari konteks penggunaannya di mana masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda . Terhadap komentar tersebut, Ditjen Postel mengucapkan terima-kasih dan sangat menghargai sepenuhnya sebagai bagian dari sikap kritis dari seluruh stake-holder di Indonesia, yang berkepentingan terhadap regulasi dan kebijakan pengaturan satelit di Indonesia dalam kaitannya dengan kehadiran satelit-satelit asing di Indonesia . Pada dasarnya Ditjen Postel sangat terbuka terhadap sikap kritis meski ekstrem sekalipun dan itulah sebabnya setiap rancangan regulasi selalu dikonsultasikan kepada publik dengan tujuan untuk memperoleh tanggapan publik.
Namun demikian, komentar tersebut mungkin kurang tepat dan perlu diluruskan, karena Ditjen Postel sangat transparan dalam proses pembahasan masalah koordinasi satelit dengan negara-negara lain, termasuk dengan Malaysia ini. Khusus untuk masalah dengan Malaysia , menjelang koordinasi satelit tersebut berlangsung, Ditjen Postel telah mengeluarkan Siaran Pers No. 52/DJPT.1/KOMINFO/5/2006 tertanggal 3 Mei 2006 dengan judul "Koordinasi Satelit Indonesia dan Malaysia" yang dapat diakses melalui website Ditjen Postel ini. Kemudian hasil dari koordinasi satelit tersebut juga telah direlease melalui Siaran Pers No. 53/DJPT.1/KOMINFO/5/2006 tertanggal 5 Mei 2006 dengan judul "Tingkat Pencapaian Koordinasi Satelit Indonesia dan Malaysia dan Peluang Penyelesaian Masalah Landing Right dan Azas Timbal Balik" dan juga dapat diakses melalui website ini. Selain itu, acara pertemuan tersebut sangat terbuka dan bahkan Delegasi Indonesia juga dihadiri oleh perwakilan dari operator satelit yang terkait dan seorang wakil dari ASSI. Untuk sekedar refresh, hal-hak penting yang termuat pada Siaran Pers No. 53 tersebut antara lain menyebutkan:
Di akhir sesi pertama pada pertemuan koordinasi satelit, kedua pimpinan delegasi telah berhasil menanda-tangani suatu "Agreed Minutes" tentang "Satellite Landing Right and Reciprocity". Beberapa hal penting yang disebut di dalam kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut, yaitu bahwasanya Pemerintah Indonesia mewajibkan satelit asing untuk harus memperoleh hak labuh seandainya dioperasikan di Indonesia berdasarkan ketentuan regulasi Indonesia yang berlaku yang terkait dengan ketentuan ITU Radio Regulations dan azas timbal balik. Sebagai responnya, Pemerintah Malaysia tidak menunjukkan keberatan terhadap layanan satelit asing terhadap perusahaan yang ingin menggunakannya sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan ITU Radio Regulations dan regulasi Malaysia yang berlaku. Oleh sebab itu, kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan terhadap azas timbal balik (reciprocity). Di samping itu, kedua belah pihak bersepakat untuk mengizinkan perusahaan-perusahaan dari kedua belah pihak untuk untuk menyediakan layanan satelit di kedua negara masing-masing.
Sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam setiap koordinasi satelit, di samping "Agreed Minutes" yang telah disepakati tersebut, pertemuan dilanjutkan dengan pembahasan masalah teknis koordinasi satelit antara kedua delegasi yang berlangsung pada tanggal 4 (sesi siang hingga sore hari) dan 5 Mei 2006. Pertemuan teknis ini berlangsung sangat ketat dan alot. Delegasi Indonesia berusaha mempertahankan posisinya semaksimal mungkin, dan demikian pula sebaliknya yang dilakukan oleh Delegasi Malaysia . Beberapa hal penting yang berhasil disepakati dalam pembahasan teknis ini adalah di antaranya, bahwasanya dengan selesainya koordinasi ini, maka kedua satelit (Palapa Pac 146 di slot orbit 146 E dan Measat-2, Measat 148 dan Measat 2R di slot orbit 148 E) dapat bekerja berdasarkan kriteria teknis yang disepakati.
Dengan demikian, Palapa Pac 146 (yang akan berakhir operasionalnya pada tahun 2012) dapat menotifikasi secara penuh untuk didaftarkan ke ITU, mengingat selama ini kesulitan notifikasi secara penuh selalu muncul berkaitan dengan adanya persoalan dengan Measat-2, Measat 148 dan Measat 2R. Sebagai informasi, setelah tahun 2012, slot orbit 146 E dapat digunakan kembali dengan parameter teknis yang sama yg merupakan tanggung jawab Indonesia . Penyelesaian masalah koordinasi satelit yang terkait dengan posisi kedua satelit tersebut telah melalui serangkaian pertemuan koordinasi satelit yang sangat komplikated selama 7 tahun sejak tahun 1998 dan baru terselesaikan pada pertemuan koordinasi satelit ini (tanggal 5 Mei 2006). Oleh karena itu, kemampuan Delegasi Indonesia untuk dapat mempertahankan slot orbit yang dimiliki oleh Palapa Pac 146 merupakan suatu prestasi yang sangat signifikan.
Dalam koordinasi satelit ini, sama sekali tidak sedikitpun menyinggung masalah keberadaan PT Direct Vision yang menyediakan layanan televisi berbayar Astro yang menggunakan satelit Measat-2 148E, karena pertemuan ini hanya sepenuhnya membahas masalah koordinasi satelitnya itu sendiri dan berbagai hal yang terkait dengan legalitas dan prinsip utama kesepakatan penyelesaian masalah landing right dan imbal balik secara umum. Hanya saja, dengan selesainya koordinasi satelit ini, maka memungkinkan setiap operator telekomunikasi siaran televisi berbayar yang menyediakan layanannya di Indonesia yang menggunakan satelit asing dituntut untuk melakukan penyesuaian izin landing right (atau bagi yang sama sekali belum pernah memperoleh izin landing right harus melakukan prosedur untuk memperolehnya) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo No. 13/P/M.KOMINFO/8/2005 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Yang Menggunakan Satelit. Sebaliknya, setiap operator telekomunikasi siaran televisi berbayar yang menyediakan layanannya di Malaysia dengan menggunakan satelit yang dimiliki Indonesia harus juga menyesuaikan dengan ketentuan yang diatur oleh Pemerintah Malaysia atas dasar azas timbal balik, atau dengan kata lain tidak boleh ada diskriminasi atau dipersulit oleh Pemerintah Malaysia .
Sebagaimana disebutkan dalam Siaran Pers Ditjen Postel No. 52/DJPT.1/KOMINFO/V/2006 tanggal 3 Mei 2006 tentang Koordinasi Satelit Indonesia dan Malaysia disebutkan, bahwa seandainya kedua belah pihak dapat berhasil menyelesaikan persoalan koordinasi satelitnya secara komprehensif dan berdampak resiprokal satu satu lain, maka Ditjen Postel secara fair dan obyektif akan sesegera mungkin menyelesaikan proses penyesuaian penerbitan izin landing right-nya kepada PT Direct Vision sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo No. 13/P/M.KOMINFO/8/2005. Hanya saja, selesainya koordinasi satelit ini tidak otomatis persoalan PT Direct Vision sudah selesai, karena PT Direct Vision masih juga dituntut untuk harus mengurus izin penggunaan spektrum frekuensi radio, khususnya izin stasiun radio (ISR), yang menurut Pasal 3 (3) Peraturan Menteri Kominfo No. 17/P/M.KOMINFO/8/2005 tentang Tata Cara Perizinan dan Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio, hanya dapat diterbitkan oleh Dirjen Postel.
Delegasi Indonesia dalam pertemuan koordinasi satelit ini sama sekali tidak memiliki kepentingan komersial apapun terhadap deal bisnis yang berlangsung dalam penyelenggaraan siaran televisi berbayar yang dilakukan oleh operator apapun di indonesia maupun Malaysia . Yang penting adalah prinsip nasionalisme yang paling diutamakan dan tidak sedikitpun beranjak pada situasi yang berpotensi dapat merugikan kepentingan nasional Indonesia. Itulah sebabnya dalam perundingan koordinasi satelit ini Delegasi Indonesia diperkuat langsung secara aktif oleh Damos Dumoli selaku Direktur Perjanjian Ekonomi dan Sosial, Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Deplu RI. Kerasnya sikap Delegasi Indonesia ini adalah sesuai dengan arahan Dirjen Postel yang menekankan pada seluruh anggota delegasinya untuk menunda pertemuan seandainya masih ditemu kenali adanya persoalan yang berpotensi merugikan Indonesia . Namun, pada akhirnya win-win solution ini dapat dicapai dan Ditjen Postel bersedia mempertanggung-jawabkan hasil koordinasi satelit ini publik jika disinyalir ada indikasi yang negatif terhadap kepentingan penempatan satelit Indonesia terhadap Malaysia.
Selain itu, pada saat berlangsungnya proses penyelesaian perizinan satelit asing di Indonesia sebagaimana diamanatkan padaPeraturan Menteri Kominfo No. 37/P.M.KOMINFO/12/2006 tertanggal 6 Desember 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kominfo No. 13/P/M.KOMINFO/8/2005 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Yang Menggunakan Satelit dan juga terkait dengan Peraturan Dirjen Postel No. 357/DIRJEN/2006 tentang Penerbitan Izan Stasiun Radio Untuk Penyelenggaraan Telekomunikasi Yang Menggunakan Satelit, Ditjen Postel juga berusaha sangat transparan. Bahkan dari setiap perkembanganselalu di-release melalui Siaran Pers di website in, termasuk juga hasil akhir proses penyelesaian perizinan yang diumumkan tidak lama setelah berakhirnya batas waktu penyelesaian perizinan, yaitu tanggal 6 Juni 2007. Ini termasuk juga sikap peringatan kerasDitjen Postel terhadap penyelenggara layanan Astro secara berturut-turut karena potensi penyimpangan yang ada saat itu, dan kemudian Ditjen Postel menghentikan peringatannya karena koordinasi satelit yang berlangsung pada tanggal 5 Mei 2006 tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Sehingga Ditjen Postel sudah mengedepankan unsur fairness, transparansi dan obyektivitas dalam kasus ini.
Masih dalam kaitan ini pula, Ditjen Postel juga perlu menjelaskan, bahwa kepada seluruh perusahaan/pengguna satelit asing yang kemudian lolos seleksi hingga memperoleh landing right tetap dikenakan persyaratan yang sifatnya kondisional dan sangat mengikat sekali. Dengan kata lain, jika dalam perkembangannya ditemu kenali adanya penyimpangan, maka Ditjen Postel sangat berhak untuk mencabut izin hak labuh tersebut. Sebagai contoh kepada PT Broadband Multimedia, dipersyaratkan:
- Satelit yang digunakan tidak menimbulkan interferensi yang merugikan (harmful interference) terhadap satelit Indonesia maupun satelit lain yang telah memiliki izin stasiun angkasa serta terhadap stasiun radio yang telah berizin sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- PT Broadband Multimedia wajib mendapatkan Izin Stasiun Radio (ISR) yang diterbitkan oleh Dirjen Postel.
Ancaman pencabutannya disebutkan pula secara resmi dalam izin labuh tersebut, yaitu dalam hal:
- PT Broadband Multimedia tidak lagi menggunakan satelit sebagaimana tersebut di atas.
- PT Broadband Multimedia tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana tersebut di atas.
- Satelit yang digunakan ternyata menimbulkan interferensi yang merugikan (harmful interference) terhadap satelit Indonesia maupun satelit lain yang telah memiliki izin stasiun angkasa serta terhadap stasiun radio yang telah berizin sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Negara asal penyelenggara satelit asing yang digunakan tidak memberikan kesempatan yang sama untuk berkompetisi dan beroperasi bagi penyelenggara satelit Indonesia.
Dengan demikian, izin hak labuh yang sudah diperoleh oleh sejumlah preusan/pengguna satelit asing ini masih berpotensi untuk dicabut oleh Ditjen Postel seandainya ditemu-kenali adanya penyalah-gunaan terhadap ketentuan yang berlaku. Dan seandainya penyelenggara satelit Indonesia memperoleh kesulitan untuk mendapat kesempatan yang sama untuk berkompetisi dan beroperasi di negara asing asal penyelenggara satelit tersebut, Ditjen Postel yang akan bertindak paling awal dalam memperjuangkan kepentingan nasional secara all out sesuai dengan kompetensinya dengan tetap mempertimbangkan sistem/regim peraturan yang berlaku di negara yang bersangkutan sebagaimana Indonesia juga menerapkan peraturan tersendiri mengenai satelit asing yang beroperasi di Indonesia. Sebaliknya, jika publik dapat menemu kenali adanya penyimpangan dalam proses perizinan ini, Ditjen Postel siap untuk digugat balik secara hukum oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Tanggapan ini sangat perlu diluruskan terhadap komentar dari Ketua Umum ASSI tersebut dengan tujuan untuk menempatkan persoalan secara proporcional, karena Ditjen Postel tidak memiliki kepentingan apapun dalam pengaturan satelit asing ini. Bahkan pengaturan satelit asing yang baru pertama kalinya sepanjang sejarah di Indonesia ini justru selain sangat memperketat operasional satelit asing tersebut di indonesia, juga yang paling penting adalah untuk melindungi kepentingan nasional industri satelit domestik itu sendiri. Ditjen Postel sekali lagi mengucapkan terima kasih atas sikap kritis ASSI tersebut meski kemudian terpaksa harus diluruskan konteksnya. Bahkan bersama ASSI pula saat ini Ditjen Postel secara kooperatif namun kritis sedang membahas bersama Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Penggunaan Orbit Satelit Untuk Penyelenggaraan Telekomunikasi dan sejauh ini kemajuan pembahasannya cukup signifikan bagi kepentingan nasional Indonesia.
Kepala Bagian Umum dan Humas,
Gatot S. Dewa Broto
HP: 0811898504
Email: gatot_b@postel.go.id
Tel/Fax: 021.3860766