-
Email:
Callcenter_djid@komdigi.go.id -
Call us:
159 -
Webmail:
Surel
- Beranda
- Informasi & Publikasi
- Informasi Terkini
Siaran Pers
Sikap Departemen Kominfo Mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi Dalam Masalah Uji Materi Terhadap UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik
Siaran Pers No. 109/PIH/KOMINFO/5/2009
(Makassar, 7 Mei 2009). Dalam dua hari terakhir ini cukup banyak pertanyaan dari sebagian publik di sekitar keputusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan putusannya menganai permohonan uji materi UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik. Pertanyaan tersebut cukup beragam, mulai dari yang ingin mengetahui naskah keputusan Mahkamah Konstitusi secara lengkap hingga tentang sikap Departemen Kominfo terhadap keputusan tersebut. Oleh karena itu, melalui Siaran Pers ini, Departemen Kominfo bermaksud menyampaikan respon terhadap sejumlah pertanyaan tersebut. Departemen Kominfo pada prinsipnya secara resmi menghormati dan mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebagaimana belum lama ini Departemen Kominfo juga mematuhi dan menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi ketika membatalkan beberapa pasal dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Yang Mengatur Sanksi Terhadap Lembaga Pers dan Penyiaran Yang Melanggar Pembatasan Iklan Kampanye. Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, berharap seluruh stake holder yang terkait dengan pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE untuk lebih solid dan penuh kepastian dalam pelaksanaannya, karena bagaimanapun juga Departemen Kominfo dan lembaga penegak hukum membutuhkan sinergis yang konstruktif dan kritis dalam melaksanakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Sebagaimana diketahui, dalam hasil Rapat Permusyawaratan Hakim oleh Hakim Konstitusi yang dibacakan pada tanggal 5 Mei 2009 dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., sebagai Ketua merangkap Anggota, Abdul Mukthie Fadjar, M. Arsyad Sanusi, Maruarar Siahaan, Maria Farida Indrati, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, M. Akil Mochtar, dan Harjono, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Eddy Purwanto sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon dan/atau Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, menyebutkan, bahwa Hakim Konstitusi Menyatakan menolak permohonan uji materi terhadap UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang diajukan oleh Narliswandi Piliang alias Iwan Piliang. Di samping itu, Mahkamah Konstitusi juga menolak uji materi terhadap UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang diajukan Edy Cahyono, Nenda Inasa Fadhilah, Amrie Hakim, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers). Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan, bahwa negara berwenang melarang pendistribusian/pentransmisian informasi semacam itu sebagai bagian dari perlindungan hak warga negara dari ancaman serangan penghinaan atau pencemaran nama baik, sehingga Pasal 27 Ayat (3) dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, dimana Pasal 27 Ayat (3) menyebutkan, bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Dalam pertimbangannya, M ahkamah K onstitusi mengakui hak tiap warga negara untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyimpan informasi. Namun, hal tersebut tidak boleh menghilangkan hak orang lain untuk mendapat perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat dan nama baiknya. Menurut Mahkamah Konstitusi, k ewenangan negara untuk mengatur hal tersebut dapat dibenarkan guna menciptakan situasi yang lebih kondusif bagi terpenuhinya hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baik seseorang . Selain itu disebutkan pula oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa meskipun aktivitas internet sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun sesungguhnya masih tetap melibatkan masyarakat (manusia) yang hidup di dunia nyata (real/physical world). Oleh karenanya, sebagaimana halnya di dunia nyata , aktivitas dan perilaku manusia di dunia maya(cyberspace) pun tidak dapat dilepaskan dari pengaturan dan pembatasan oleh hukum.
Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa Pasal 27 Ayat (3) tersebut hanya membatasi siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik yang memuat unsur penghinaan , sehingga p embatasan itu tidak dilakukan dalam rangka memasung atau membenamkan hak-hak dasar untuk mencari, memperoleh informasi . Menurut Mahkamah Konstitusi, konsep pemidanaan dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE merupakan delik yang dikualifikasi sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik sehingga konsepnya akan mengacu kepada KUHP namun ancaman pidanaannya lebih berat. Perbedaan ancaman pidana antara KUHP dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE adalah wajar karena distribusi dan penyebaran informasi melalui media elektronik relatif lebih cepat, berjangkauan luas, dan memiliki dampak yang masif. Bahwa pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh negara tidak dalam rangka mengurangi hak-hak dasar untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, melainkan untuk memberikan jaminan kepada orang lain untuk menikmati kebebasan dirinya dari ancaman serangan terhadap kehormatan dirinya, keluarganya, serta merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan yang dapat menyebabkan dirinya tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan oleh Sang Pencipta.
Lebih lanjut dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa dalam konteks gagasan demokrasi, kemerdekaan pers harus memberi warna dan makna sebagai sarana yang membuka ruang perbedaan pendapat dan menjadi tempat menyampaikan kritik dan informasi. Ruang bagi perbedaan pendapat a quo hanya ada apabila kemerdekaan pers tidak dibelenggu, namun dengan tetap tunduk pada hukum dan kode etik jurnalistik. Dengan kata lain, kemerdekaan pers dan demokrasi merupakan dua hal yang saling membutuhkan bahkan saling menghidupi. Kemerdekaan pers tidak boleh disalahgunakan dengan mengatasnamakan kepentingan umum untuk menciderai demokrasi, privasi, harga diri, dan kehormatan anggota masyarakat.
---------------
Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo (Gatot S. Dewa Broto, HP: 0811898504, Email: gatot_b@postel.go.id, Tel/Fax: 021.3504024).