-
Email:
Callcenter_djid@komdigi.go.id -
Call us:
159 -
Webmail:
Surel
- Beranda
- Informasi & Publikasi
- Informasi Terkini
Siaran Pers
Relevansi Kewajiban Registrasi dan Validasi Prabayar Secara Benar Untuk Minimalisasi Tindak Pelanggaran Hukum (Termasuk Pencegahan Aksi Terorisme)
Siaran Pers No. 160/PIH/KOMINFO/7/2009
(Jakarta, 26 Juli 2009). Meskipun terjadinya peristiwa peledakan bom yang dilakukan oleh teroris dalam aksi bom bunuh dirinya di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton sudah berselang sepuluh hari yang lalu, namun demikian hingga saat ini rasa geram, marah, terkejut, hujatan dan ucapan yang mengutuk masih terus bergulir baik dari berbagai kalangan di Indonesia maupun kalangan internasional, yang ditujukan pada para pelaku tindak terorisme tersebut. Peristiwa tersebut rupanya secara tidak langsung telah berdampak pada munculnya cukup banyak pertanyaan yang ditujukan ke Departemen Kominfo yang datang dari berbagai kalangan masyarakat tentang beragam informasi yang berkembang melalui layanan SMS mulai dari yang sebatas mempertanyakan tentang validitas data registrasi kartu prabayar yang mungkin dapat dilacak untuk memperkecil ruang gerak kelompok teroris, tentang adanya berbagai ancaman peledakan bom di beberapa tempat yang informasi ancamannya dikirimkan melalui SMS maupun tentang berbagai tindak penipuan dan ancaman antar individu yang juga dikirimkan melalui SMS.
Keresahan sebagian masyarakat tersebut memang sangat dapat dipahami. Akan tetapi, bukan berarti Departemen Kominfo tinggal diam begitu saja, karena Departemen Kominfo sudah selalu mengingatkan kepada para penyelenggara telekomunikasi untuk memperhatikan, melaksanakan dan mentaati kewajiban pelaksanaan registrasi kartu prabayar ini secara konsisten. Peringatan ini tidak hanya terkait dengan adanya peristiwa ledakan bom di JW Marriott dan Ritz Carlton, tetapi rutin dilakukan dengan tujuan agar kegiatan registrasi tidak semata-mata registrasinya secara sembarangan yang di antaranya dengan data yang tidak sepenuhnya benar namun harus dengan upaya keseriusan untuk dilakukan validasi bagi keabsahan data pengguna layanan seluler maupun FWA (Fixed Wireless Access). Memang diakui sepenuhnya, bahwa keakurasian data registrasi prabayar tidak menjamin sepenuhnya tidak adanya ancaman terorisme, hanya saja minimal memperkecil peluang terjadinya tindak pelanggaran hukum yang modus operansinya di antaranya dilakukan dengan komunikasi melalui layanan telekomunikasi.
Bagi seluruh mitra dan stakeholder Departemen Kominfo, khususnya dalam hal ini adalah para penyelenggara telekomunikasi, mereka ini di mata Departemen Kominfo merupakan kelompok industri yang cukup santun dan patuh terhadap ketentuan regulasi telekomunikasi. Para penyelenggara telekomunikasi sangat menyadari, bahwa Pasal 21 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyebutkan, bahwa penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 45. Lebih lanjut juga diatur di dalam Pasal 46 ayat (1), yang menyebutkan, bahwa sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin. Kemudian pada Pasal 46 ayat (2) disebutkan juga, bahwa pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis. Secara lebih terperinci aturan pencabutan tersebut juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, yang menyebutkan pada Pasal 95 ayat (1), bahwa pelanggaran terhadap Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (3), Pasal 10 ayat (2), Pasal 12, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 25 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28, Pasal 29, Pasal 32 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), Pasal 49 ayat (3), ayat (4), Pasal 50, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 57, Pasal 60, Pasal 65 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin. Selanjutnya masih pada PP tersebut, pada ayat (2) disebutkan, bahwa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah diberikannya peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut yang mana masing-masing peringatan tertulis berlangsung selama 7 (tujuh) hari kerja.
Karena keras dan tegasnya ketentuan dari konsekuensi Pasal 21 tersebut menyebabkan para penyelenggara telekomunikasi cukup hati-hati agar tidak mudah dianggap melanggar ketentuan tersebut. Pada sisi yang lain, seandainya para penyelenggara telekomunikasi harus setiap hari memonitor atau terlebih lagi harus "mempelototi" trafik layanan voice dan SMS pada masing-masing penyelenggara telekomunikasi adalah suatu aktivitas operasional yang sangat tidak mungkin tertangani secara optimal. Sebagai perbandingan dan gambaran nyata, untuk layanan penyelenggara telekomunikasi tertentu yang pernah melaporkan data trafiknya pada saat Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan, bahwa pada hari biasa trafik percakapannya adalah sebanyak 600 juta call dengan total waktu hingga 450 juta menit. Di samping itu data trafik SMS sebanyak 125 juta SMS dan trafik data/GPRS adalah sebanyak 11 juta sesi. Sedangkan pada saat berlangsungnya hari pemungutan suara pada tanggal 9 April 2009 telah terjadi lonjakan trafik hingga 790 juta call (mengalami kenaikan sebesar 31,7%), dengan perincian sebagai berikut: H-1 terjadi 700 juta call (kenaikan 16,7%) dengan total menit selama 475 juta menit (kenaikan 5,6% ) dan SMS sebanyak 153 juta SMS (kenaikan 22,4%) serta trafik data/GPRS sebanyak 12,1 juta sesi (kenaikan 10%). Sedangkan pada hari H terjadi 790 juta call (kenaikan 31,7%) dengan total menit 540 menit (kenaikan 20%) dan SMS sebanyak 148 juta SMS (kenaikan 18,4%) serta trafik data/GPRS sebanyak 12,5 juta sesi (kenaikan 13,6%). Laporan serupa juga disampaikan oleh suatu penyelenggara telekomunikasi lainnya pada saat Pemilu Legislatif 2009 tersebut yang menunjukkan, bahwa pada H-1 terjadi pengiriman 217,7 juta SMS (kenaikan 3,2%), trafik voice sebanyak 4,3 juta erlang (kenaikan 10,2%), dan trafik data sebanyak 10,9 Terabyte (kenaikan 9%). Sedangkan pada hari H terjadi pengiriman sebanyak 221 juta SMS (kenaikan 4,7%), trafik voice sebanyak 4,9 juta erlang (kenaikan 11%) dan trafik data sebanyak 11 Terabyte (kenaikan 10%). Akan halnya pada H+1 terjadi pengiriman 210 juta SMS (penurunan 0,5%), trafik voice sebanyak 4,4 juta erlang (kenaikan 12,8%) dan trafik data sebanyak 10,8 Terabyte (kenaikan 8%). Informasi terminologinya: trafik voice kadangkala dinyatakan dalam seratus percakapan per detik per jam atau CCS (hundreds of calls seconds per hour). Karena satu jam terdiri dari 3600 detik, maka 1 erlang = 1 call hour = 3600 call detik = 36 CCS. 1 erlang menyatakan rata-rata dari sebuah panggilan selama satu periode waktu Intensitas Trafik.
Tingginya trafik telekomunikasi setiap hari dari contoh random dua penyelenggara telekomunikasi tersebut di atas (dan itu belum terhitung dengan data-data dari sebagian besar penyelenggara telekomunikasi lainnya) yang sesungguhnya merupakan keuntungan bagi penyelenggara telekomunikasi bukan berarti dapat dijadikan alasan untuk melepaskan tanggung-jawab para penyelenggara telekomunikasi untuk tetap turut membantu pemerintah dalam melakukan edukasi publik kepada para pengguna telekomunikasinya agar tidak memanfaatkan layanan telekomunikasi untuk hal-hal yang bertentangan dengan keamanan, kesusilaan, ketertiban dan kepentingan umum. Oleh karena salah satu solusi lain yang selalu ditekankan oleh Departemen Kominfo adalah komitmen para penyelenggara telekomunikasi untuk tetap konsisten dalam melakukan proses registrasi kartu prabayar sesuai dengan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Kominfo No. 23/M.KOMINFO/10/2005 tentang Registrasi Terhadap Pelanggan Jasa Telekomunikasi . Departemen Kominfo memang memahami sepenuhnya, bahwa proses verifikasi dan validasi ini menuntut suatu penyelesaian yang sistematis dan memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Pada satu sisi, seluruh penyelenggara telekomunikasi tidak dapat mendatangi atau menelfon setiap pengguna kartunya satu per satu, yaitu selain karena memakan biaya yang cukup tinggi, juga dihadapkan pada keabsahan data identitas yang dikirimkan oleh sebagian penggunanya. Apalagi ketentuan yang mengatur batas akhir vasa verifikasi dan validasi tidak ada, ini berbeda dengan batas akhir registrasi.
Namun pada sisi lain, adalah juga sangat naïf seandainya proses verifikasi dan validasi hanya dilakukan secara random dengan jumlah yang tidak signifikan, sehingga sampai kapanpun program verifikasi dan validasi ini tidak akan dapat diselesaikan. Berdasarkan kondisi tersebut, pada tanggal 24 April s/d. 10 Juli 2007, Departemen Kominfo khususnya Ditjen Posteldan BRTI telah melakukan pemantauan dan pengecekan di lapangan (khususnya di wilayah Jakarta) dengan memberikan identitas palsu dan data yang asal-asalan, yaitu contoh datanya sebagai berikut: No. KTP: 1234567890; Nama: aaaaa; Tempat Lahir: bbbbb; Tanggal lahir: 11223333 atau 11/22/3333; Alamat: abcde; Kota : aaaa; Kodepos: 11111. Dalam kenyataannya, sebagian besar penyelenggara telekomunikasi prabayar dapat menerima identitas palsu dan asal-asalan tersebut, sementara sebagian kecil tertentu melakukan filterisasi yang lebih baik seperti misalnya format tanggal lahir yang benar. Sebagai akibatnya, Ditjen Postel pada tanggal 2 Juli 2007 telah mengirimkan surat kepada seluruh penyelenggara telekomunikasi seluler No. 1416/DJPT.3/Kominfo/VII/2007perihal validasi kartu prabayar. Esensi surat tersebut meminta kepada para penyelenggara jasa telekomunikasi prabayar untuk melaporkan skema validasi yang telah dilakukan terhadap pelanggan prabayar, segera menonaktifkan nomor-nomor prabayar yang ditemukenali memberikan data palsu dan asal-asalan, dan menyampaikan laporan perkembangan registrasi prabayar per 3 bulan paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya sesuai kesepakatan rapat tanggal 11 April 2007.
Melalui Siaran Pers ini, Departemen Kominfo tetap meminta para penyelenggara telekomunikasi untuk mengingatkan kepada lini terdepan penjualan kartu prabayarnya untuk mematuhi kewajiban registrasi prabayar secara benar (tidak asal-asalan) dan juga meminta para penyelenggara telekomunikasi untuk terus melakukan validasi datanya. Karena kalau validasi ini masih lambat juga kemajuannya, Departemen Kominfo dan BRTI tidak segan-segan untuk turun lagi ke lapangan melakukan inspensi mendadak dan mempublikasikan kepada masyarakat umum tentang hasil-hasil temuannya sebagaimana yang pernah dipublikasikan pada tanggal 25 Juli 2007. Sedangkan kepada masyarakat umum pengguna kartu prabayar diinformasikan, bahwa mereka tidak perlu meragukan iktikad para penyelenggara telekomunikasi dalam penyimpanan data pengguna layanannya. Pasal 5 dari Peraturan Menteri Kominfo No. 23/M.KOMINFO/10/2005 tentang Registrasi Terhadap Pelanggan Jasa Telekomunikasi menyebutkan, bahwa: (1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyimpan identitas pelanggan jasa telekomunikasi pra bayar sebagaimana dimaksud dalam PasaI 4 ayat (2) selama pelanggan jasa telekomunikasi aktif menggunakan jasa telekomunikasi dimaksud; (2) Dalam hal pelanggan jasa telekomunikasi pra bayar tidak aktif lagi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyimpan identitas pelanggan jasa telekomunikasi pra bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal dimulai ketidakaktifan pelanggan jasa dimaksud; (3) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan data pelanggan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf b dalam rangka perlindungan hak-hak privat pelanggan; (4) Dikecualikan dari ketentuan ayat (3) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib rnenyerahkan identitas pelanggan jasa telekomunikasi pra bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) atas permintaan: a. Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk proses peradilan tindak pidana terkait; b. Menteri yang membidangi telekomunikasi untuk keperluan kebijakan di bidang telekomunikasi; c. penyidik untuk proses peradilan tindak pidana tertentu lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, mengingat hampir setiap minggu ada saja keluhan baik dari masyarakat maupun pejabat yang mengeluhkan adanya SMS penipuan secara perorangan, Departemen Kominfo tidak langsung begitu saja dapat menanyakan kepada penyelenggara telekomunikasi agar sesegera mungkin membuka data identitasnya. Sedekat apapun hubungan Departemen Kominfo sebagai regulator dengan para penyelenggara telekomunikasi tetap tidak berhak memaksakan otoritasnya secara sepihak, karena sama saja mendidik masyarakat untuk melanggar ketentuan yang dibuatnya sendiri. Departemen Kominfo selalu mengarahkan pada masyarakat atau pejabat yang berkepentingan untuk mengadukannya ke Kepolisian terlebih dahulu. Selain itu, jika ada warga masyarakat ada yang sering mengeluh karena sering memperoleh SMS penipuan atau ancaman dan kemudian menuduh adanya kerjasama antara pengirim SMS dengan internal penyelenggara telekomunikasi, maka tuduhan tersebut sama sekali tidak benar, karena penyelenggara telekomunikasi tentu cukup paham dengan resiko dan konsekuensi ketentuannya. Mungkin saja informasi nomer seluler atau FWA tersebut diperoleh melalui informasi yang lain. Sebaliknya, jika memang ada indikasi pembocoran identitas pengguna layanan oleh penyelenggara telekomunikasi dan itu berarti pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Kominfo tersebut di atas, Departemen Kominfo terpaksa harus bertindak tegas terhadap tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara telekomunikasi.
--------------
Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Kominfo (Gatot S. Dewa Broto, HP: 0811898504, Email: gatot_b@postel.go.id, Tel/Fax: 021.3504024).