-
Email:
Callcenter_djid@komdigi.go.id -
Call us:
159 -
Webmail:
Surel
- Beranda
- Informasi & Publikasi
- Informasi Terkini
Siaran Pers
Keterangan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan Mengenai Hasil Pembahasan Hari Pertama Pada Rapat Kerja Presiden dan Wakil Presiden Bersama Para Menteri, Pejabat Tinggi Negara Setingkat Menteri, Gubernur, Ketua DPRD, Direksi BUMN dan Sejumlah Pengusaha di Istana Bogor
Siaran Pers No. 87/PIH/KOMINFO/8/2010
(Bogor, 6 Agutus 2010). Terlampir disampaikan siaran pers berdasarkan keterangan dari Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Agus Martowardojo dalam jumpa pers tanggal 5 Agustus 2010 sore di sela-sela acara Rapat Rapat Kerja Presiden di Istana Bogor. Rapat Kerja tersebut dihadiri oleh Wakil Presiden, Para Menteri, Pejabat Tinggi Negara Setingkat Menteri, Gubernur, Ketua DPRD, Direksi BUMN dan Sejumlah Pengusaha serta akan berlangsung selama 2 hari (5 dan 6 Agutus 2010).
---------------
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo (Gatot S. Dewa Broto; HP: 0811898504; Email: gatot_b@postel.go.id ; Tel/Fax: 021.3504024).
Siaran Pers
APBN Yang Prudent dan Sustainable
Disampaikan oleh :
Menteri Koordinator Perekonomian
Menteri Keuangan
Berdasarkan hasil Rapat Kerja III Presiden tanggal 5 Agustus 2010 di Bogor tentang APBN yang Prudent dan Sustainable, dapat kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut :
APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mewujudkan tercapainya berbagai tujuan dan sasaran pembangunan. Peranan strategis APBN tersebut berkaitan dengan ketiga fungsi utama kebijakan fiskal, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Dengan peranan yang sangat strategis tersebut, maka APBN harus sehat dan sustainable. Ada tiga indikator APBN yang sehat dan berkesinambungan, yaitu :
- Defisit harus terkendali menuju seimbang atau surplus.
- Keseimbangan primer terjaga positif .
- Rasio utang yang cenderung menurun
Sebagai alat kebijakan fiskal, APBN harus dapat berfungsi sebagai stabilisator bagi perekonomian, dan atau sidat kontra -siklis (Countercyclical). Ini berarti, pada saat ekonomi sedang dalam masa "boom", pemerintah dapat menjalankan anggaran surplus, dan sebaliknya, pada saat reses/krisis, pemerintah dapat melakukan ekspansi fiskal dengan menjalankan anggaran defisit. Dengan demikian, secara overall, APBN akan menuju seimbang selama suatu periode jangka panjang siklus ekonomi (Balanced Budget Over Cycle).
Dibanding dengan negara-negara lain, terutama negara-negara maju G-20 yang dalam periode 2007-2009, defisit anggarannya justru memburuk (misalnya defisit Amerika naik dari 1,3% PDB menjadi 10,2% PDB, Kanada dari surplus 1.6% PDN menjadi defisit 4.8% PDB; dan Jepang dari defisit 2.5% PDB menjadi 7.4% PDB) - lebih parah dari defisit anggaran negara-negara berkembang (India defisit naik dari 2,9% menjadi PDB menjadi 7,5% PDB, Afrika Selatan dari surplus 0,9% PDB menjadi defisit 1.9% PDB) -- , Indonesia termasuk negara yang memiliki ketahanan fiskal yang baik (defisit 1.3%PDB tahun 2007; 0,1% PDB tahun 2008 dan 1.6% PDB tahun 2009).
Untuk menuju APBN yang berimbang atau surplus tersebu, maka sumber-sumber pendapatan negara, baik pajak maupun penerimaan negara bukan pajak harus terus ditingkatkan agara dapat memperkuat kapasitas fiskal. Upaya peningkatan perpajakan dilakukan antara lain dengan melanjutkan reformasi administrasi perpajakan, reformasi peraturan perundang-undangan perpajakan, maupun reformasi pengawasan dan penggalian potensi pajak, serta melaksanakan reformasi pengadilan pajak. Di sisi lain, kualitas belanja negara harus ditingkatkan agar benar-benar dapat digunakan secara efektif untuk mencapai kemakmuran rakyat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pelayanan dasar, dan desentralisasi fiskal dalam rangka otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab. APBN diarahkan untuk mendorong Triple Track Strategy + 1 Kabinet Indonesia Bersatu II, yaitu : Pro Growth, Pro Job, Pro Poor, dan Pro Environment.
Ada beberapa isu strategis dalam pengelolaan keuangan negara, yang perlu segera dicarikan solusi oleh semua pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan peranan APBN sebagai instrument mencapa Pro Growth, Pro Job, Pro Poor, dan Pro Environment.
Pertama, fiscal space APBN masih terbatas. Komposisi belanja negara masih didominasi oleh belanja mengikat yang bersifat wajib. Sekitar 97% dari Pendapatan Dalam Negeri (Pajak dan PNBP) tahun 2010 digunakan untuk membiayai belanja mengikat yang bersifat wajib, antara lain untuk transfer ke daerah(35%);belanja pegawai dan barang(27%);Subsidi(20%); dan bunga utang(11%). Dana yang tersisa untuk belanja tidak mengikat(Diskresioner), antara lain belanja modal untuk infrastruktur dan bantuan sosial menjadi sangat terbatas.
Kedua, mandatory spending semakin membesar. Hal ini terutama karena beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan dan langkah-langkah kebijakan bersifat mengikat dan/atau membatasi ruang fiskal APBN: (1) Kewajiban penyediaan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD sesuai amanat amandemen UUD 1945;(2)kewajiban pemenuhan tunjangan untuk guru(fungsional, profesi, maslahat tambahan, dan tunjangan khusus) sesuai UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen; (3)kewajiban penyediaan dana perimbangan sekitar 27%-30% terhadap belanja negara, yaitu : untuk DAU minimal 26% dari penerimaan dalam negeri netto, dan DBH sesuai ketentuan UU No. 33/2004; (4) Penyediaan dana otonomi khusus (2% dari DAU Nasional) sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus Nagroe Aceh Darussalam dan Papua; dan (5) penyediaan alokasi anggaran kesehatan 5% dari APBN (sesuai UU No. 36/2009). Mandatory Spending yang semakin meningkat tersebut semakin memperkecil fiscal space.
Ketiga, penyerapan anggaran belanja negara masih belum optimal. Daya serap anggaran belanja K/L rata-rata hanya sekitar 90% dari pagu APBN. Selain itu, realisasi belanja biasanya menumpuk di akhir tahun, sehingga dampaknya pada pertumbuhan ekonomi nasional menjadi kurang maksimal. Hal-hal yang menyebabkan penyerapan anggaran K/L belum optimal diantaranya :
- Keterlambatan penetapan kuasa pengguna anggaran (KPA), dan pengelola kegiatan di hampir semua satker pusat dan daerah;
- Perencanaan kegiatan yang kurang baik; tidak ada kerangka acuan kerja (TOR dan RAB);
- Dampak penerapan Keppres 80/2003, yang membuat pengadaan barang/jasa pemerintah bukan persoalan sederhana.
- Masalah pengadaan dan pembebasan lahan; serta
- Fleksibilitas yang terbatas dalam memanfaatkan sisa anggaran
Dalam rangka meningkatkan kualitas belanja negara agara dapat berfungsi sebagai instrumen fiskal yang efektif dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerintah menetapkan delapan langkah strategis.
- Mengedepankan alokasi belanja modal untuk mendukung pembiayaan bagi kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi ( Pro Growth) , menciptakan kesempatan kerja ( Pro Job) , mengentaskan kemiskinan (Pro Poor), dan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan (Pro Environment).
- Mengurangi pendanaan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif.
- Merancang ulang ( Redesign) kebijakan subsidi; merubah sistem subsidi dari subsidi harga menjadi subsidi yang tepat sasaran (Targeted subsidy) , membatasi sasaran penerima subsidi melalui sistem seleksi yang ketat dan basis data yang transparan, serta menata ulang sistem penyaluran subsidi yang lebih akuntabel, predictable, dan lebih tepat sasaran.
- Menghindarkan meningkatnya pengeluaran mandatory spending.
- Mempercepat implementasi sistem penganggaran berbasis kinerja, dan kerangka pengeluaran menengah.
- Memperluas pelaksanaan reformasi birokrasi.
- Menerapkan reward dan punishment dalam pengalokasian anggaran
- Mempercepat penyerapan anggaran belanja antara lain dengan:
- Merevisi keppres No. 80 tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
- Melakukan monitoring dan evaluasi atas kinerja pencairan dan pencapaian sasaran kegiatan, sebagai dasar pemberian reward & punishment;
- Mendorong K/L untuk menempatkan SDM yang berkompeten, masing-masing di bidang perencanaan, penganggaran, pelaksanaan kegiatan, dan pengadaan; serta
- Mempercepat pemberian ijin bagi kontrak kegiatan tahun jamak.
Sejalan dengan itu, pembiayaan APBN dari utang harus mengedepankan prinsip-prinsip pengelolaan anggaran negara yang sehat danprudent untuk menjaga kesinambungan fiskal ( fiscal sustainability).